Sekda NTT: Antara Profesionalitas versus Jebakan Isu Primordial

oleh -182 Dilihat

Oleh : Verry Guru
(Kasubag Kepegawaian dan Umum Badan Pengelola Perbatasan Daerah Prov. NTT)

Suara-ntt.com, Kupang-Proses dan seleksi calon Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTT, pasca Ir. Benediktus Polo Maing yang akan purna tugas terhitung 1 Juni 2022 yang akan datang, masih sedang berlangsung. Melalui media diketahui ada enam pejabat yang dinyatakan lolos seleksi awal yakni: Benediktus Wahon (Sekretaris Bawaslu Provinsi Papua Barat), Septenius Bule Logo (Sekda Kabupaten Sabu Raijua), Henderina Laiskodat (Kepala BKD NTT). Domu Warandoy (Sekda Kabupaten Sumba Timur), Ruth Diana Laiskodat (Kepala Inspektorat Daerah NTT) dan Kosmas Damianus Lana (Kepala Bappelitbangda NTT).
Dari keenam nama pejabat yang dinyatakan lolos ini sangat beragam jika ditilik dari latar belakang pengalaman dalam memangku jabatan di level birokrasi pemerintahan. Juga yang penting dipertimbangkan adalah latar belakang suku, agama dan lain sebagainya.

Karena itu, Pansel (Panitia Seleksi) akan mengirim tiga nama ke Presiden melalui Kemendagri untuk ditetapkan salah seorang putra atau putri terbaik NTT untuk menjadi Sekda NTT. Siapa yang ditetapkan ?

Artikel ini tidak ditujukan atau disasarkan kepada siapa pejabat yang “dianggap” pantas dan layak untuk menduduki jabatan Sekda NTT (Eselon I B) tetapi sesungguhnya ada tersirat “pesan singkat” yang ingin diutarakan dalam kaitannya dengan perbaikan kualitas kinerja birokrasi serta apa sesungguhnya yang menjadi kebutuhan mendasar agar sebagai pelayan publik, kita mampu memberi respons yang cepat dan tepat guna memenuhi kebutuhan publik di daerah ini.

Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan Wagub Josep A. Nae Soi telah menetapkan visi pembangunan NTT (periode 2018-2023) yakni NTT Bangkit Mewujudkan Masyarakat Sejahtera dalam Bingkai NKRI. Perwujudan visi ini melalui lima misi yakni : pertama, mewujudkan NTT Bangkit menuju masyarakat sejahtera berlandaskan pendekatan pembangunan yang inklusif, berkelanjutan dan berbasis sumber daya lokal; kedua, membangun NTT sebagai salah satu gerbang dan pusat pengembangan pariwisata nasional; ketiga, meningkatkan ketersediaan dan kualitas infrastruktur untuk mempercepat pembangunan inklusif, berkelanjutan dan berbasis sumber daya lokal di NTT; keempat, meningkatkan kualitas sumber daya manusia; dan kelima, mewujudkan reformasi birokrasi pemerintahan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Meski secara subyektif harus diakui bahwa birokrasi pemerintahan pada masa lampau telah terpesona dan terlena bahkan terlanjur menjadi semacam mesin politik dari rezim yang berkuasa. Tuntutan kekinian menghendaki agar tata kelola birokrasi harus meninggalkan citranya sebagai penguasa dan menjadi “pelayan masyarakat” atau public services. Asas pemerintahan yang baik (good governance) sebagai nilai baru birokrasi yang menekankan transparansi, profesional, efisiensi, dan akuntabilitas, dapat menjadi acuan dalam transformasi birokrasi (pembaharuan tatanan birokrasi) untuk mencari format pemerintahan yang dicitrakan dan dibutuhkan oleh publik.
Karena itu, perlu pembingkaian ulang terhadap pola pikir para pejabat. Strategi ini berhubungan dengan perubahan set mental person birokrasi dalam hal konsepsinya tentang keberadaan birokrasi dan peran ideal yang harus ditampilkannya.

Perubahan pola pikir ini mensyaratkan bahwa keberlangsungan tatanan pemerintahan terletak pada kemampuan birokrasi membangun citra diri dan visinya ke depan yang dapat diterima oleh masyarakat. Organisasi birokrasi berjalan karena visinya sebagai energi yang menyuntik dan menggerakkan organisasi. Aspek etika dan moral menjadi nilai yang mendasari strategi ini untuk mengembalikan birokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Atas dasar pemikiran ini maka diperlukan identifikasi dan penentuan skala prioritas kebutuhan masyarakat. Karena kehadiran dan keberadaan organisasi pemerintahan serta kehidupan organisasi juga ditentukan oleh masyarakat. Menentukan kebutuhan masyarakat, maksudnya adalah untuk menemukan apa sesungguhnya yang dibutuhkan sehingga masyarakat merasa puas karena dapat dilayani dengan mutu aparatur yang meyakinkan dalam spirit NTT Bangkit Mewujudkan Masyarakat Sejahtera.

Sebagai aparatur (pelayan) yang memiliki sikap, tutur kata, dan perilaku yang berorientasi sebagai pelayan (untuk dan kepada masyarakat) maka diperlukan cara pandang (orientasi) pejabat terhadap warga masyarakat; profesionalitas yang berorientasi pada pelayanan masyarakat; membangun jiwa dan semangat untuk melayani masyarakat dan pemberdayaan partisipasi masyarakat.

Di tikungan yang strategis inilah sesungguhnya masyarakat dan daerah NTT membutuhkan profil Sekda NTT yang mumpuni dan responsif terhadap sejumlah paradigma baru yang hadir dalam tuntutan perubahan zaman khususnya dalam dunia birokrasi. Sehingga cita-cita menuju good governance dan kepemerintahan yang efektif tidak sekadar menjadi retorika politis untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu saja melainkan mampu diimplementasikan dan diukur menurut ruang dan waktu dalam sebuah pengabdian yang total dan utuh.

Ke depan kita tentu berharap agar Sekda NTT tidak hanya menjadi “tameng” untuk mengurus administrasi perkantoran semata. Malah cenderung mengambil sikap “cuci tangan” ala Pilatus. Fakta paling aktual adalah dengan membebas-tugaskan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi; Kepala Dinas Sosial, Jamaludin Ahmad dan Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah Provinsi NTT, Petrus Seran; karena dinilai berkinerja menurun/buruk. Ketiga pejabat ini wajib cuti selama tiga bulan terhitung sejak 5 April sampai dengan 5 Juli 2022.

Memori publik cukup terhentak. Tapi soal seperti ini pun pernah terjadi. Beberapa waktu lalu Kepala Dinas Kesehatan dan Dukcapil Provinsi NTT, dokter Meserasi Ataupuh pun mengalami nasib yang sama. Kini dokter Mese telah kembali menjabat sebagai Kadis Kesehatan dan Dukcapil Provinsi NTT. Perkara menonjobkan para pejabat bukan hal yang aneh. Nasib yang sama pernah juga dialami mantan Kadis PU Provinsi NTT, Andre Koreh dan kawan-kawan.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi masyarakat yang menjadi medan pelayanan para birokrat yang ada daerah ini; serentak dengan itu diharapkan agar kita juga tidak terus-menerus terjebak dalam “jebakan batman” yang hanya menguntungkan kelompok atau golongan tertentu hanya karena “mengobral atau mengumbar” isu-isu primordialisme yang menjadi komoditas paling laris di tengah komunitas masyarakat NTT dalam kaitan dengan jabatan Sekda NTT.
Hemat penulis, siapa pun Sekda NTT (yang baru nanti), tidaklah penting dan menarik untuk ‘digumuli” sebagai hal yang mendesak. Energi yang ada sebaiknya digunakan untuk mendesain aneka program dan kegiatan yang sanggup untuk mengeluarkan masyarakat NTT dari jerat kemiskinan, kebodohan dan keterpurukan ekonomis lainnya. Sehingga terwujud cita-cita bersama dalam visi NTT Bangkit NTT Sejahtera. (*)