Suara-ntt.com, Kupang-Upacara tahbisan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, Pr, Kamis (19/3/2020), usai sudah. Meski ada banyak pro dan kontra terhadap upacara tahbisan itu, terutama karena berlangsungnya acara tersebut; ketika bangsa ini sedang konsentrasi penuh dan ekstra kerja dalam menghadapi intaian Corona Virus Disease atau Covid-19.
Lupakan pro kontra itu. Tak perlu menambah komentar lagi dari aneka perspektif. Toh, semua komentar, pernyataan dan juga sikap terhadap peristiwa bersejarah itu hanya post factum. Mengomentari apa yang telah terjadi dan tidak terulang lagi. Apa yang sudah berlalu, biarkan berlalu. Sekarang mari kita lihat ke depan.
Melihat peristiwa tahbisan Uskup Ruteng itu dari perspektif pembangunan gereja lokal dan juga pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Melihat peristiwa itu tidak lagi dengan kacamata iman tetapi dengan kacamata membangun.
Dalam perspektif seperti itulah kita bisa melihat ada benang merah, ada tali rantai antara Gereja dan pemerintah. Gereja (institusi) dan pemerintah (birokrasi) itu satu semangat, satu mision karena punya visi yang juga satu dan sama, yakni membangun.
Gereja membangun iman umat, pemerintah membangun kesejahteraan rakyat. Pemerintah menyiapkan infrastruktur untuk rakyat, Gereja mengawal moral umat. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, di Provinsi NTT; Gereja dan pemerintah tidak bisa dipisahkan. Riwayat tualang Gereja adalah juga riwayat tualang pemerintah.
Dari sejarah kita paham, di Provinsi NTT; Gereja Katolik melalui misi dan Gereja Protestan melalui zending telah meletakkan dasar-dasar pembangunan umat dan rakyat. Misi dan zending membuka sekolah, membuka rumah sakit, membuka kursus-kursus keterampilan di mana-mana untuk kebutuhan rakyat.
Dengan kata lain, peradaban sudah dimulai oleh Gereja jauh sebelum negeri ini mereguk kemerdekaannya.
Maka, sebetulnya apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini merupakan kelanjutan dari jejak-jejak pembangunan yang telah diletakkan Gereja. Tak terbayangkan wajah Nusa Tenggara Timur hari ini tanpa kehadiran Gereja jauh sebelumnya.
Itu sebabnya setiap peristiwa gerejani, baik yang terjadi di Gereja Katolik maupun di Gereja Protestan, selalu mendapat perhatian pemerintah. Peresmian atau pemberkatan gereja baru, tahbisan imam baru, uskup baru, pendeta baru pasti pejabat penting pemerintahan diundang. Kehadiran pejabat pemerintahan di acara-acara Gereja meski cuma simbol, tetapi makna di baliknya jauh dan dalam. Dengan kehadiran pejabat pemerintah itu terbaca kesadaran bahwa pemerintah tidak bisa jalan sendiri tanpa Gereja.
Di tingkat provinsi kesadaran ini sudah berjalan lama. Sudah dari dulu kepala daerah bakal hadir di acara-acara Gereja. Gubernur NTT periode lalu bahkan mengagendakan pertemuan rutin setiap tiga bulan dengan para pimpinan agama. Dalam pertemuan itu semua uskup di NTT hadir. Semua pendeta utusan dari beragam denominasi Gereja Protestan hadir. Pimpinan dan pemuka agama Islam, Hindu, Budha juga hadir.
Praktek positif ini terus berlanjut di era kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan Wakil Gubernur Josef A Nae Soi sekarang. Secara rutin digelar rapat atau pertemuan dengan para pemimpin agama.
Gubernur VBL hadir dan memberi pandangannya pada Pertemuan Pastoral (Perpas) Regio Nusa Tenggara yang dihadiri semua uskup di wilayah Nusa Tenggara (Atambua, Kupang, Larantuka, Maumere, Ende, Ruteng, Sumba, Denpasar), akhir Juli 2019 lalu di Atambua. Gubernur VBL juga hadir dan memberi pandangannya pada Sidang Raya XVII PGI di Waingapu, November 2019 lalu.
Apa artinya ini ? Mengapa Gubernur VBL dan juga pejabat pemerintahan musti hadir ? Tentu banyak hal yang didapat pemerintah dari pertemuan itu. Dengan posisinya yang dipandang lebih dekat dengan umat, para pemimpin Gereja pasti mengetahui lebih baik aneka kebutuhan masyarakat, apa kesulitan yang mereka hadapi, apa yang masih mendera mereka, apa harapan mereka untuk meraih kesejahteraan.
Kolaborasi antara Gereja dengan pemerintah, bagaimana pun juga bisa melahirkan energi positif yang luar biasa untuk membangun daerah ini. Pentingnya kolaborasi ini sering dikatakan Gubernur VBL di banyak tempat dalam kunjungannya.
“Kalau para pastor, suster, para pendeta dan tokoh agama ikut membangun NTT, maka tugas pemerintah jadi ringan.” Begitu yang sering dikatakan Gubernur VBL.
Gubernur VBL pasti sangat paham, pemerintah tidak bisa jalan sendiri membangun daerah ini. Pemerintah sangat membutuhkan Gereja di dalam setiap jejak langkahnya. Sebaliknya Gereja juga sadar bahwa medan misi dan perutusannya adalah dunia dengan segala macam dinamika dan problemnya.
Misi Gereja tak lain adalah menjalankan karya pelayanannya baik ke dalam maupun keluar. Ke dalam artinya untuk pengembangan iman dan kehidupan rohani jasmani umat sendiri, sedangkan pelayanan keluar artinya untuk masyarakat luas.
Dengan medan bakti seperti ini, yang berubah dan berkembang seiring jalannya roda zaman, Gereja sangat membutuhkan pemerintah. Di jalan tugas yang sama itulah terletak kesatuan Gereja dan pemerintah.
Kolaborasi dan kesatuanitu hari-hari ini sangat tampak ketika Gereja dan pemerintah satu spirit menghadapi ancaman penularan Corona Virus Disease (Covid-19). Gubernur VBL tidak main-main dengan virus maut ini. Untuk dan atas nama kepentingan, kemaslahatan dan keselamatan seluruh rakyat NTT, Gubernur VBL bersikap tegas : melarang semua aktivitas sosial kemasyarakatan yang melibatkan banyak manusia dan melahirkan kerumunan massa.
Merespon sikap tegas Gubernur VBL itu, baik Gereja Katolik maupun Gereja Protestan bersepakat untuk meniadakan seluruh aktivitas di gereja dan perayaan kerohanian. Kita musti membayangkan, hari-hari ini, umat Katolik dan Protestan lagi bersiap-siap menyongsong Pesta Paskah. Ada latihan koor, ada katekese, ada pembinaan umat, ada seminar, ada pawai paskah, ada bazar, pasar murah dan sebagainya.
Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang sudah mengeluarkan instruksi untuk meniadakan seluruh perayaan kerohanian, seperti jalan salib, katekese, misa terhitung mulai hari Minggu (22/3/2020) hingga Minggu (29/3/2020) nanti sambil melihat perkembangan dan situasinya.
Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsentius Sensi Potokota juga sudah mengimbau umat di Keuskupan Agung Ende untuk tidak mengikuti proses Semana Santa di Larantuka tahun ini.
Ketua Sinode GMIT, Ibu Pendeta Dr. Mery Kolimon pun meminta semua kegiatan kerohanian dibatasi. Kita mendengar kabar dari Larantuka, Uskup Larantuka bersepakat dengan seluruh suku Semana Santa untuk meniadakan prosesi Semana Santa tahun ini di Larantuka Kabupaten Flores Timur.
Sesungguhnya semua kegiatan kerohanian ini adalah ritual keagamaan resmi dan tidak ada alasan berarti untuk meniadakannya. Kegiatan-kegiatan sosial karitatif semisal basar, donor darah juga sangat bermanfaat untuk kepentingan banyak orang.
Tetapi pilihan menyelamatkan manusia adalah pilihan moral yang jauh lebih penting. Dan pilihan moral itulah yang diambil Gubernur VBL. Maka rakyat NTT patut berterima kasih kepada Gubernur VBL yang begitu berani ‘melawan’ tradisi keagamaan yang sudah menyatu dan berakar kuat di dalam sanubari umat.
Dengan pilihan sikap seperti ini, Gubernur VBL sesungguhnya tengah mempraktekkan cara beragama dan cara beriman secara rasional. Gubernur VBL sadar bahwa praktek hidup beragama dengan membiarkan dan bahkan meninggalkan aneka masalah yang mendera manusia adalah cara beragama yang perlu dikoreksi.
Agama dan juga iman tidak pernah dihayati dalam sebuah kevakuman. Sebaliknya iman dan agama dihayati dalam sejarah manusia dengan sekian banyak problematikanya. Maka sudah benar sikap tegas Gubernur VBL melarang semua aktivitas apa pun yang mengakibatkan kerumunan manusia, termasuk aktivitas keagamaan. Gubernur VBL benar ketika dia menempatkan keselamatan manusia di atas semua kepentingan. Karena itu tidak ada alasan bagi kita semua untuk tidak ikut perang gerilya melawan Covid-19.
Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT, Dr. Jelamu Ardu Marius, M.Si pun dalam banyak kesempatan selalu mengatakan, berbagai kebijakan yang diambil Gubernur VBL dalam menyikapi penanganan Covid-19 di Provinsi NTT sesungguhnya sedang menyelamatkan martabat kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
“Itulah spirit kepemimpinan Gubernur VBL yang musti didukung oleh seluruh stake holders yang ada di daerah ini,” pinta doctor penyuluh pertanian lulusan IPB Bogor ini. (Kerjasama Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT dengan Suara-NTT.com)