Suara-ntt.com, Kupang-Masyarakat Desa Naunu dan Kelurahan Camplong I Kecamatan Fatuleu Barat Kabupaten Kupang keluhkan masalah tanah yang melibatkan Pemerintah Kabupaten Kupang dan Brigif 21 Komodo yang tak kunjung selesai.
Warga setempat mengeluh dan menaruh harapan kepada Komisi I DPRD Provinsi NTT untuk bisa membantu menyelesaikan masalah itu agar tidak merugikan masyarakat pemilik tanah.
Keluhan masyarakat itu disampaikan ketika Komisi I DPRD Provinsi NTT yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD Provinsi NTT, Gabriel Beri Bina dan Wakil Ketua Komisi I DPRD Provinsi NTT, Jonas Salean melakukan kunjungan kerja ke Kantor Klasis Fatuleu Barat, dalam rangka mendengar aspirasi dari masyarakat setempat pada Kamis (24/9/2020).
Ketua Klasis Fatuleu Barat, Meritz J. Nenoliu, S.Th, mengatakan, masalah tanah ini terjadi antara pihak masyarakat Desa Naunu, Pemerintah Kabupaten Kupang dan Brigif 21 Komodo. Dimana pokok permasalahannya adalah sengketa sertifikat tanah HPL No:11/HL/BPN/2000, 24 Maret 2000 yaitu tanah seluas 1658,80 Ha yang terduga sarat manipulasi antara Pemerintah Kabupaten Kupang terhadap masyarakat Desa Naunu.
Sengketa lainnya kata dia juga terjadi dengan Brigif 21 Komodo, yaitu tanah seluas 40 ha yang diberikan secara tulus oleh Bapak Alberth Bait masyarakat Desa Naunu kepada Brigif 21 Komodo. Dimana luas tanah yang awalnya disetujui diserahkan 40 Ha, namun setelah ditelusuri ternyata melebihi luas yang dimaksud. Tanah ini masuk dalam tanah seluas 1.658,80 ha.
Dia menyampaikan bahwa perjuangan mereka sudah sangat jauh dan hanya mendengar bahwa janji-janji yang sudah disampaikan untuk menyelesaikan masalah ini. Bahkan ada isu bahwa Januari 2021, Kodam Cendana akan membangun di lokasi tersebut.
“Kalau sampai hal ini terjadi, maka masalah ini bisa lebih besar daripada di Nasi Panaf lagi”. Saya ingin nantinya kita turun lapangan dan melihat di lapangan.
Untuk diketahui HPL itu bukan merupakan hak atas tanah sebagaimana HM, HGU, HGB, dan HP. Hak Pengelolaan (HPL) bukan merupakan hak atas tanah sebagaimana Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA).
Jonas Salean yang memimpin rapat tersebut dan membuka sesi tanya jawab dan mempersilahkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Cucu dari salah satu tokoh atas nama Filipus Yeremias Ngolud yang menandatangani pelepasan sertifikat HPL tanah seluas 1.658,58 ha, mempertanyakan mengapa sudah HPL, tetapi ada penolakan lagi karena waktu pengukuran untuk sertifikat tersebut tidak dihadiri oleh bahkan separuh dari pemilik tanah.
Sementara itu Bastian Utan, menyampaikan bahwa mereka menolak tanah seluas 588 ha yang dipakai oleh pemerintah tetapi tidak untuk kepentingan masyarakat melainkan untuk pembangunan Markas Batalyon 743/ 161 Wira Sakt. Hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan hak atas tanah ulayat, dimana tanah tersebut digunakan masyarakat untuj bertani.
Menurutnya, masyarakat Desa Naunu layaknya seperti tikus mati diatas beras sendiri.
“Kami punya tanah untuk bertani, tapi kami tidak bisa bertani, bagaimana kami bisa hidup,”tanya dia.
Alberth Bait, sebagai salah satu pemilik tanah yang bermasalah seluas 40 ha menyampaikan bahwa tanah tersebut memang diserahkan dengan tulus. Tetapi 40 ha ini belum ada pelepasan dan diduga tanah tersebut yang digunakan Brigif 21 Komodo malah melebihi 40 ha.
Masyarakat Desa Naunu pada intinya menyatakan sikap mereka sebagai berikut:
1. Menolak penguasaan lahan oleh pihak manapun yang tidak sesuai untuk peruntukannya.
2. Menolak Sertifikat HPL NO 11/HPL/BPN/2020, 24 Maret 2020, yang diduga sarat menipulasi.
Kemudian mereka juga mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Kupang untuk mencabut Sertifkat HPL No 11 dimaksud dengan tanah seluas 1.658,58 Ha
2. Tuntutan kepada Brigif 21 Komodo untuk segera melakukan pengukuran dan pemagaran lahan seluas 40 Ha yang diberikan oleh Bapak Alberth Bait, apabila kemudian melebihi 40Ha, maka Brigif 21 Komodo harus mengembalikan atau mengganti rugi atas kelebihan tanah.
Jonas Salean mengatakan, kunjungan yang dilakukan adalah untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat Desa Naunu.
“Komisi I DPRD NTT tidak bisa langsung menyelesaikan masalah ini. Kami butuh data, sehingga hasil dari pertemuan ini, kemudian akan menjadi dasar dari Komisi I memberikan rekomendasi kepada baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten untuk menyelesaikan masalah tanah ini,”ungkapnya.
Hironimus Banafanu menegaskan, pemerintah seharusnya tidak membuat masyarakat kesulitan.
“Saya rekomendasikan nantinya masyarakat Desa Naunu dapat beraundiens dengan Gubernur NTT agar masalah ini dapat segera ditindaklanjuti dengan serius,”pintanya.
Sementara itu Gabriel Beri Binna mengatakan, semua perjuangan ini demi masa depan Desa Naunu. Diakui bahwa masalah ini baru diketahui oleh Komisi I DPRD Provinsi NTT. Dengan informasi yang ada ini akan dikumpulkan oleh Komisi I untuk mengundang Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi NTT dalam rapat bersama membahas hal ini. Dalam waktu dekat akan diagendakan.
“Bagi saya, pemerintah tidak pantas berpekara dengan masyarakat dan merugikan masyarakat, jadi kita akan berusaha mencari jalan keluar bahkan ke titik paling awal, yaitu dengan Kanwil BPN NTT”, ungkapnya.
Awalnya Komisi I DPRD Provinsi NTT menjadwalkan pertemuan dengan Bupati Kupang untuk membahas hal ini. Namun karena protokol pencegahan covid-19 yang sementara dilaksanakan di lingkup Kantor Kabupaten Kupang, maka pertemuan dengan Bupati harus ditunda.(HT/Jorgie Humas Setwan Provinsi NTT)