Gubernur NTT, Dr. Viktor Bungtilu Laiskodat, SH, M.Si foto bersama Pater Fritz dan para pembedah Buku Sang Mesias Antologi Puisi Religi di aula Hotel Cahaya Bapa Kupang, Sabtu (2/4/2022). (Foto: Datven Liunesi)
Suara-ntt.com, Kupang-Gubernur NTT, Dr. Viktor Bungtilu Laiskodat, menegaskan, ketertinggalan Provinsi NTT bukan karena manusia NTT itu bodoh.
“Tapi karena sistem pembelajaran kita belum mempunyai kemampuan untuk mendorong anak-anak kita untuk mendapatkan pengetahuan yang baik,” tandas Gubernur VBL saat closing statemen acara Bedah dan Launching Buku Sang Mesias Antologi Puisi Religi karya P. Fritz Meko, SVD, MA di aula Hotel Cahaya Bapa Kupang pada Sabtu, 2 April 2022.
Gubernur NTT ini mengaku, karya Pater Fritz sangat baik untuk masyarakat NTT. “Bersaksi butuh kecerdasan untuk mencetuskan pengetahuan baru. Apa yang dilakukan Pater Fritz merupakan ekspresi kecerdasan. Pater Fritz menghadirkan suatu suasana baru; yakni bagaimana memahami Mesias dari perspektif puisi. Karena itu, saya sangat senang dan hadir di acara ini,” tandas mantan Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI.
Pandang Injil secara Alternatif
Di tempat yang sama, dalam testimoninya Pater Fritz mengaku, karya yang baik hanya mungkin ditopang oleh ketekunan, kesetiaan dan habitualisasi. Sembari mengutip pendapat filsuf Yunani Aristoteles, Pater Fritz mengatakan, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali. Maka, keunggulan bukanlah tindakan, melainkan kebiasaan.”
“Saya akhirnya menganggap bahwa menulis Sang Mesias merupakan suatu “tuntunan” untuk mencoba memandang Injil secara alternatif. Saya tidak bermaksud membuat “Profanasi” Injil Suci – tetapi hanya mau membuka saluran alternatif refleksi dengan bertanya : bolehkah sejarah hidup dan karya Yesus dinarasikan dalam bentuk puisi? Apakah saya tidak akan mendapat sanksi dari gereja dan pengadilan dari umat Kristen karena menyadur injil dalam bentuk puisi?” ucap Pater Fritz, dengan nada tanya.
Pertanyaan ini lanjut alumnus Kairos Saint Patrick University – Ireland, ternyata tidak mengamputasi niatnya untuk berani mempublikasikan Sang Mesias.
“Untuk ini semua, saya ucapkan banyak terima kasih, khususnya kepada Gubernur NTT, Bapak Dr. Viktor Laiskodat, SH, M.Si yang berkenan hadir mengikuti acara ini,” ucap Pater Fritz.
Pendeta Dr. Nelman A. Weny, M.Th yang membedah Buku Sang Mesias dari perspektif Teologis mengaku, tulisan-tulisan Pater Fritz terus mengalir laksana air sungai yang tak pernah kering.
“Setiap perjumpaan dan diskusi, bahkan dalam perjalanan, pasti lahir tulisan-tulisan reflektif-kontemplatif. Karena itu, Pater Fritz layak disebut sebagai sastrawan NTT yang memiliki reputasi nasional,” puji Pendeta Nelman.
Dengan tulisan-tulisannya yang amat apik sebagai muara dari pemikiran yang bernas dan imaginasi kreatifnya yang luar biasa, sebut Pendeta Nelman, maka Pater Fritz layak disejajarkan dengaan Gerson Poyk, Umbu Landu Paranggi, A.G. Hadzarmawit Netti, Pdt. Abe Poli, Damian N. Toda, Maria Matildis Banda, Yohanes Sehandi, Fanny Jonathan Poyk, Mezra Pellondou.
Menurut Pendeta Nelman, Buku Sang Mesias merupakan, renungan Pater Fritz dalam upaya berteologi dengan gaya puitis. “Karena itu, patut diapresiasi. Antologi ini hanyalah sebuah tawaran bagi pembaca agar merenungkan kisah Mesias dalam Injil Lukas dengan kacamata puisi,” papar alumnus STT Jakarta yang juga dosen Pascasarjana IAKN Kupang.
Kritikus sastra NTT, Drs. Yan Sehandi, M. Si menilai Pater Fritz Meko, SVD, adalah salah seorang penulis yang pantas dan layak disebut sebagai penyair. “Sebagai penulis kelahiran Timor, beliau pantas dan layak disebut sebagai penyair (sastrawan) Timor. Sebagai penulis berasal dari NTT, pantas dan layak disebut sebagai penyair (sastrawan) NTT. Sebagai warga negara Indonesia yang menulis dalam bahasa Indonesia, Fritz Meko, SVD, pantas dan layak disebut sebagai penyair (sastrawan) Indonesia,” tandas Yan Sehandi.
Tersesat di Jalan yang Benar
Dosen Bahasa dan Satra Undana Kupang, Dr. Marsel Robot, M.Si mengaku, puisi-puisi Pater Fritz Meko, SVD berusaha mengarasemeni Injil Lukas dengan memberikan watak puitik, didandani dengan metafora, alegori, simbol.
“Dengan begitu, kita dapat menerima makna melalui kenikmatannya,” katanya.
Menurut dia, membaca puisi seperti mengupas kulit bawang. Bakal sia-sia seorang mencari isi dari sesiung bawang. Sebab lanjut Marsel Robot, kulit itulah isinya.
“Satu hal yang dianggap mudah ialah mencari penampakan penyair dalam puisi-puisinya. Kerap, jarak antara profesi penyair dan puisi hasil karyanya begitu dekat. Pengalaman-pengalaman profesi mengilhaminya untuk berkarya. Dalam diri penyair terjadi semacam sublimitas (transformasi pengalaman menjadi ion-ion puitik dalam kata konotatif atau metaforik).
Penyair atau sastrawan adalah orang yang terus diwanti dan disiksa oleh pengalamannya. Namun, ia merasa begitu nikmat dengan penyiksaan itu. Itulah yang membuatnya tak pernah berhenti bertengkar secara kreatif dengan realitas,” jelas doktor ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.
Keraguan murid-murid Mesias, ungkap Marsel Robot merupakan tanda yang merepresentasi watak manusia. Namun, keraguan sangat dibutuhkan untuk mengetahui entitas dan eksistensi kenabian Sang Mesias.
“Negasi-negasi yang didandani oleh metafora, alegori memuculkan semacam katekese merayap ke dalam ruang refleksi untuk kembali bertanya Siapakah Aku ini? Pertanyaan ini dikembalikan oleh Sang Mesias kepada kita. Dan kita yang bergabung dengan para murid telah tersesat di jalan yang benar,” ujar Marsel, sambil tersenyum.
Nampak hadir Provinsial SVD Timor, P. Didimus Nai, SVD, Rektor Unwira Kupang, P. Dr. Philipus Tule, SVD, Wakil Bupati TTU, Drs. Eusabius Binsasi, Direktur Penerbit Pohon Cahaya, Sasongko Iswandaru serta tamu undangan lainnya. (Verry Guru)